Umat Kristiani Jepara Ikut Pawai Takbir

(Kompas) KRISTIANTO PURNOMO
Rabu, 1 Oktober 2008 | 00:13 WIB

JEPARA, SELASA--Pawai takbir keliling selain diikuti umat Islam di Desa Bondo, Kecamatan Bangsri, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, juga diikuti umat Kristen, yang merupakan mayoritas warga di desa ini.

Aktivis Masjid Baiturrahman di Desa Bondo, Bejo Selamet, di Jepara, Selasa, mengatakan, pawai takbir keliling memang tidak hanya diikuti umat Islam, sebagian umat Kristen, terutama pemuda, banyak yang ikut memeriahkannya. "Hal ini sudah biasa dilakukan, sebagai wujud toleransi terhadap umat beragama," katanya.

Desa Bondo merupakan kantong umat Kristiani di Jepara. Mayoritas penduduk Jepara memeluk Islam dan partai berideologi Islam, PPP, memenangi Pemilu 1999 dan 2004 di Jepara. Partai Damai Sejahtera (PDS) juga menempatkan wakilnya di DPRD Jepara.

Sejumlah pemuda non-muslim tersebut, katanya, mengikuti acara pawai takbir dengan menggunakan sepeda motor pribadi atau mengikuti rombongan yang menggunakan kendaraan roda empat. "Kami menyambutnya, meskipun ini kegiatan keagamaan dari umat Islam," katanya.

Menurut rencana, kegiatan takbir keliling di Desa Bondo dan sekitarnya tidak hanya berkililing desa sekitar, tetapi dilanjutkan hingga ke Alun-alun Jepara, yang berjarak puluhan kilometer.

Sebagai persiapan mengikuti pawai takbir keliling, masing-masing masjid dan musala di Desa Bondo dan sekitarnya membuat sejumlah hiasan masjid atau sesuatu yang bernapaskan Islam lainnya untuk diarak menggunakan kendaraan roda empat. "Dari pemuda Masjid Baiturrahman membuat miniatur masjid yang berhiaskan puluhan lampu hias," katanya.

Adapun biaya pembuatan dan biaya lain-lainnya merupakan swadaya dari para pemudanya. "Jika masih membutuhkan dana lagi maka akan minta sumbangan kepada warga lainnya," katanya.

Keterlibatan warga Kristen dalam acara pawai takbir keliling juga dibenarkan oleh aktivis gereja dari Desa Bondo, Karmuji, yang mengatakan, bahwa sejak ada kegiatan pawai takbir keliling, sejumlah pemuda Kristen ada yang mengikutinya.

Selain menggunakan sepeda motor pribadi, katanya, ada juga yang mengikuti rombongan pawai takbir keliling. "Hal ini menjadi penguat toleransi antarumat beragama," katanya.

Menurut dia, saat umat Kristen merayakan Natal, sebagian umat Islam juga menghadiri acara tersebut. "Bahkan, dalam pembuatan masjid di Desa Bondo, sebagian umat Kristen menyumbangkan tenaganya," katanya.

Selain itu, sejumlah pemuda Kristen yang merayakan Natal dengan menggelar acara sendiri, juga diikuti oleh sejumlah pemuda Islam. "Jika diminta datang ke gereja, biasanya banyak yang enggan dan malu," katanya.

Sementara itu, Hetty, warga Bondo lainnya yang beragama Kristen, mengatakan, pihaknya juga akan mengikuti pawai takbir keliling dengan menggunakan mobil pribadi. "Selain sebagai bentuk penghormatan terhadap umat Islam juga untuk menikmati keramaiannya. Terlebih, masing-masing peserta menampilkan sejumlah hiasan yang unik-unik," katanya.(ANT)

: owner blog comment
Bangga juga jadi warga jepara..... bisa buat contoh buat daerah lain...




Mereka Meninggal Demi Rp30 Ribu!

KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Jenazah usai diotopsi di RSUD dr Soedarsono, Pasuruan.
Selasa, 16 September 2008 | 01:55 WIB

Demi uang sebesar Rp30.000, ribuan orang di di Jl Wahidin Pasuruan rela berdesak-desakkan dan mengakibatkan 21 orang tewas.

Peristiwa tragis itu terjadi saat pembagian zakat yang dimulai pada pukul 10.00 WIB. Ribuan warga miskin yang datang dari berbagai pelosok desa di sekitar Kota dan Kabupaten Pasuruan itu berebut saling berdesakan guna mendapatkan zakat dengan nilai nominal Rp30.000 per orang yang dilangsungkan oleh keluarga dermawan H Syaichon di Jalan Dr Wahidin Sudirohusodo, Kota Pasuruan.

Keluarga Syaichon yang mengatur para penerima zakat masuk satu per satu ke dalam halaman rumahnya, akhirnya membuat ribuan orang yang terkonsentrasi di sebuah gang tak bisa bergerak, bahkan orang yang pingsan pun tidak bisa keluar. Puncaknya adalah: 21 orang tewas!

Makin jelas bagi kita, seperti apa rupa kemiskinan yang terjadi di negeri ini. Jelas bukan seperti yang dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengklaim angka kemiskinan di Indonesia telah mengalami penurunan sebesar 10 juta jiwa selama pemerintah Indonesia dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jika sebelumnya angka kemiskinan mencapai 40 juta jiwa, saat ini jumlah penduduk miskin di Tanah Air diperkirakan berjumlah 30 juta jiwa.

Kemiskinan tak lagi menjadi mimpi buruk. Ia telah benar-benar menjelma menjadi barisan manusia-manusia tak berdaya yang hadir di mana pun ada remah-remah rezeki, termasuk di rumah keluarga H Syaichon.

Ya, mereka adalah para fakir miskin yang berniat menerima zakat. Sekali lagi zakat, sebuah terminologi yang di dalamnya mengandung kemulyaan hidup berupa kasih sayang terhadap sesama lewat tindakan berbagi.

Zakat adalah rukun ketiga dari rukun Islam. Secara harfiah zakat berarti "tumbuh", "berkembang", "menyucikan", atau "membersihkan". Sedangkan secara terminologi syari'ah, zakat merujuk pada aktivitas memberikan sebagian kekayaan dalam jumlah dan perhitungan tertentu untuk orang-orang tertentu sebagaimana ditentukan.

Si pemberi zakat jelas orang mampu secara material. Orang yang memiliki niat dan tindakan luhur untuk berbagi dengan sesama dan berharap pahala dari Allah. Adapun si penerima zakat di antaranya adalah mereka yang Fakir, yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup. Mereka yang Miskin, yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.

Secara teoritis, kemiskinan bisa dipahami sebagai gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.

Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.

Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.

Entah gambaran seperti apa yang tepat untuk melukiskan kemiskinan yang sedang melanda masyarakat kita. Gambaran-gambaran di atas boleh jadi telah cukup akurat, tapi melihat fakta yang ada, mungkin kata nekat perlu pula ditambahkan, termasuk nekat untuk mati demi tiga lembar sepuluh ribuan.

Saya percaya, sebagian besar yang datang ke rumah keluarga H Syaichon adalah orang-orang yang berniat mulia, berniat mencari sedekah untuk menyambung hidup, menyenangkan orang rumah untuk beli makanan atau membeli pakaian bekas.

Saya juga percaya, Pak Syaichon tulus membagikan sebagian kekayaannya untuk para fakir miskin. Yang jadi soal, kenapakah ia membagi sendiri zakatnya itu kepada ribuan orang.

Mungkin benar pendapat Pengamat sosial, Prof DR M Ali Haidar MA, yang menilai musibah yang mengenaskan itu menunjukkan ketidakpercayaan orang yang berzakat kepada institusi yang menangani zakat.

"Ketidakpercayaan itu mendorong orang yang berzakat langsung membagikan sendiri zakatnya," kata guru besar Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu.

Maklumlah, salah satu "penyakit gawat" yang terus mewabah pada bangsa ini adalah hilangnya kepercayaan orang per orang dan kepercayaan orang terhadap institusi, termasuk institusi negara.

Orang belajar pada pengalaman, itulah jawabnya. Pada hari-hari yang kita lewati, kian susah kita menemukan tauladan luhur dari para pemimpin bangsa ini. Yang kita dapati adalah contoh buruk bagaimana para tokoh yang mewakili kita justru bertindak deksura. Bagaimana para pemimpin yang mengatur kehidupan bernegara kita hidup berfoya-foya. Dan, mereka yang kita percaya sebagai imam hidup kita justru membawa kehidupan makin suram.

Menyakitkan memang. Apalagi ini terjadi saat umat Islam sedang menjalani ibadah puasa. Apalagi ini terjadi di kala para tokoh sedang riuh rendah menawarkan janji-janji manis dalam rangka menghadapi pemilu 2009. Apalagi ini terjadi di bumi gemah ripah... loh kok begini. Hmmm, saya benar-benar tak mampu meneruskan ujar-ujar Jawa yang hebat mengenai negeri kita yang makmur jibar-jibur itu. Terlalu getir buat saya mendapati fakta sauadara-saudara kita tewas hanya untuk uang setara dengan harga tiga bungkus rokok.

: komentar pemilik blog
aaahhh....sungguh menyayat hati............



PERJALANANKU dan DIA


aku datang ke dalam dirimu
ke lembahmu dengan senja mengerjap di antara pohon rindang
dimana ada harap terbentang
di bening mata ada beriak lembut : perjalanan yang tidak mudah
ada yang sulit diubah kita memang keras kepala :
cinta mungkin bencana tapi rasa ini juga anugerah
aku datang merengkuhmu biarkan engkau juga menjangkauku
dalam lengkung alis matamu
dimana tubuh lelah yang berantakan
sejenak lelap dalam percintaan
lalu kita berkata : segala yang mengerjap-ngerjap bukanlah rindu yang cuma sekejap
(catatan kecil tuk pasangan hidupku...)



KENAPA ORANG ISLAM GAMPANG MARAH..?


Berhembus lagi angin dari rumah membawa berita.. bahwasannya terulang kembali perusakan rumah-rumah suci... bahwasannya tak tenteram lagi hati bagi mereka yg berbeda religi..

Dalam hal toleransi ini.. terus terang sebagai muslim saya agak bingung..
Hemat saya, orang-orang Islam itu seharusnya jauh lebih toleran terhadap perbedaan.
Kenapa?

Pertama, karena kita harus sholat 5 waktu.
Suatu hal yg seringkali kita jalankan by taken for granted di negara kita--yang kebetulan banyak orang muslimnya.

Tapi coba bayangkan bagaimana rasanya anda sedang di negeri orang tiap mau sholat kesulitan untuk mencari air guna bersuci, kesulitan mencari tempat yg bersih untuk membentang sajadah, atau bahkan kesulitan untuk minta diri dari kerumunan/meeting/kerja/dagang? susah kan..

Seringkali keadaan memaksa kita untuk meminta pengertian orang yang berbeda keyakinan supaya rehat sejenak demi menunaikan sholat (5 kali loh dalam sehari...!), atau minimal meminta pengertian dari pandangan mata ketika kita terpaksa sholat di pojokan tempat terbuka. Meminta pengertian.

Kemudian yg terbayang di benak... "Wah enaknya kalau ada mesjid disini."
Nah, kalau begitu kenapa kita justru melarang orang lain membangun tempat ibadahnya?
Bukankah mereka juga merasakan keinginan beribadah yang sama...
Memberi pengertian.

Kedua, kita juga diwajibkan untuk memakan makanan yg halal. Kebayang gak sih anda jauh dari tanah air lantas kebingungan mencari tempat makan? ada juga tapi syubhat.. atau terpaksa ikut makan lantas baca Bismillah dan berserah diri pada Tuhan..

Seringkali kita terpaksa meminta rekan seperjalanan yang berbeda keyakinan untuk mengalah mencari tempat makan yg halal atau setidaknya 'netral'. Meminta mengalah.

Kembali terbayang di benak... "Wah enaknya kalau banyak komunitas muslim disini yg buka warung.."
Hmm, kalau begitu kenapa melarang orang lain membuka restoran yg sesuai selera mereka?
Bukankah mereka pun rindu memakan makanan mereka...
Belajar mengalah.

Ketiga, kita seringkali gampang marah dan tersinggung ketika diajak makan oleh orang lain yg berbeda agama dan ternyata terhidang daging babi misalnya.. Tuduhan yg terlontar biasanya bahwa hal itu disengaja... bahwa memang mau menjerumuskan... masa tidak tahu, sih.. Kita meminta empati.

Tapi kalau boleh saya bertanya...
Pernahkah saudara membawa seorang rekan yg beragama Buddha makan di rumah dan saudara hidangkan makanan daging? Seberapa tahukah anda soal agama orang lain?

Bahwasannya penganut Buddha adalah vegetarian? atau bahwa penganut Hindu berpantang makan sapi? Bahwasannya vegetarian sejati Buddha tidak makan sama sekali makanan mengandung bawang merah dan bawang putih??

Tidak tahu? Wajar. Karena itu bukan agama anda.

Nah, logika yg sama akan terpakai ketika anda yg ada di posisi mereka.
Adabnya memang Tuan Rumah/yang mengajak yang bertanya pada yg diajak apakah ada pantangan makan? Tetapi kalau sahabat kita lupa bertanya, dan terhidang sudah itu makanan apakah lantas kita harus marah dan menuduh macam2? Tidak. Caranya yg sopan. Dengan Empati.

Setelah sekian banyak "berhutang" kepada orang-orang lain dari keyakinan berbeda tidakkah sudah sepantasnya kita pun berbuat sama pada mereka ketika kita yang menjadi tuan rumah mayoritas?